Selasa, 29 Juli 2008

Personal servant Syndrome

Selagi menunggu di lobby kantor pusat perusahaan multi nasional itu dan pencet pencet tombol hape, pemandangan yang sama itu terjadi lagi. Seorang bapak atau ibu turun dari mobil yang saya yakin harganya cukup buat membeli sebuah rumah tipe 90 di Surabaya. Di kursi depan mobil itu ada sopir ,tentunya,dan seorang lagi. Mengingat kantor ini di kawasan 3in1, patut disangka dia bertindak sebagai pengganjil (3 angka ganjil kan..) agar bisa lolos jalur itu. Beliau ini turun dari kursi belakang sampil menenteng hape seri communicator atau sejenisnya. Mbak resepsionis berdiri menyambut beliau dengan senyum paling manis dan ucapan selamat pagi. Sesaat kemudian pak sopir tadi menyusul sambil membawa tas kerja yang mestinya berisi dokumen kerja atau laptop si beliau tadi.
Kejadian itu sering saya lihat waktu harus mendatangi kantor ini. Dalam pikiran saya, tidak jelas apakah jika si beliau ini akan turun derajat atau menjadi kurang terhormat jika tas kerjanya dibawa sendiri.

Di pesawat saat pulang ke surabaya, kebetulan di majalah Garuda ada tulisan yang berjudul "Chasing the elusive butterfly of efficiency" oleh Alistair G Speirs.Dia menulis keharusan efisiensi agar bisa survive dan merujuk kegiatan kegiatan tidak efisien yang ditunjukkan oleh pemimpin pemimpin di Indonesia misalnya
1. rapat mendadak, bagaimana rapat bisa menghasilkan sesuatu jika si pemimpin tidak punya agenda apa yang akan dibicarakan di pertemuan dan bawahan tidak membawa materi untuk dibicarakan ?

2. jika ada pejabat datang maka
a) disambut oleh sejumlah besar orang
b) disertai oleh sejumlah besar orang
c) a & b

3. yang disebutnya "Personal servant Syndrome", mempunyai asisten yang tugasnya membawa semua bawaan si pejabat tadi, meniru praktek di masa feodal

Yang diperlukan bangsa ini adalah, tandasnya adalah "leaders who demonstrate their skills and integrity, at least by carrying their own laptop." Setuju banget pak Speirs, bagaimana bisa memikul tanggung jawab kalau sekedar tas jinjing atau tempat kacamata saja harus dibawakan oleh bawahannya ?

Minggu, 20 Juli 2008

Naik Juga....

Akhirnya taxi dari bandara Juanda melakukan "penyesuaian" harga juga.Kalau dari pengumuman yang ditempel di loket, per 4 juli tarifnya jadi naik 40% (!). kalau sebelumnya dari juanda ke rumah sekitar wiyung terhitung zona IX, seharga 77ribu, sekarang jadi 102ribu. padahal jika naik si burung biru itu, dari rumah ke bandara paling cuma habis 85 ribu, itupun sudah pembulatan ke atas dari 81 ribu sekian ratus. Tambah tol 2000 dari gunung sari plus tol baru dari waru ke bandara 5000 (jalan se-iprit kok lebih mahal yah..) total jendal 92ribu. bedanya lumayan toh 10ribuan.

Yang bikin (agak) kesel , karena kita tidak punya pilihan lain selain naik angkutan itu. alternatif yang ada bis Damri ke terminal Bungurasih seharga 15ribu atau mobil kijang sewa saudaranya burung biru itu. Kalau rombongan 2-3 orang atau pas barengan istri-anak dan harus membawa tas segambreng seperti pas pulang dari Jakarta kemarin, rasanya memang harus "dipaksa" memilih taksi.

Beda dengan bandara Sukarno Hatta yang membolehkan taxi untuk mangkal di bandara dengan catatan harus punya sticker bandara. Konsumen dibolehkan untuk memilih mode angkutannya. Mau pilih yang merek Mercedez atau sedan dari sekitar 15an perusahaan taxi atau bis damri yang murah meriah (bandara-blok M 20ribu, ke bogor kalau tidak salah cuma 23ribu) ya monggo.... Sepertinya pengelola Juanda keukeuh semekeuh harus dikelola oleh koperasi salah satu angkatan itu.

Bukan berarti fanatik dengan si burung biru, sepertinya masuknya dia ke wilayah baru seringkali di"musuhi" oleh pemain lama. Padahal logikanya kalo memang lebih baik, kenapa takut disaingi? Di bandung, kabarnya sering diusir dari pangkalan dekat keramaian oleh taxi lain yang tidak berargo. Di semarang digosipkan beroperasi karena nepotisme, padahal meskipun direstui presiden pun kalau memang tidak bagus ya tidak bakal laku. Di juanda, selalu ada petugas tidak berseragam yang rajin mengusir taxi lain dari lapangan parkir. Bahkan pernah melihat sendiri, taxi yang itu, diminta oleh penumpangnya untuk menunggu dia menjemput ke dalam diusir dari lapangan parkir dengan alasan tidak berhak beroperasi di bandara. Memang kalau urusan duit, seseorang, apalagi kalau punya kuasa, suka lupa melepas tutup telinga untuk mendengar pendapat orang lain

Never stand between a male and a female orangutan

Diambil dari halaman travel tips di The official guide to indonesia gratis dari bank asing hasil comotan di executive lounge bandara Juanda. Tidak jelas ini pengumuman di mana, tapi menilik di halaman ecotourism ditulis homeland of orangutan adalah Tanjung Puting National park, patut disangka ini di sana.

Tertulis disana "Never stand between a male and a female orangutan". waduh... bagaimana pelancong bisa tahu mana yang jantan atau betina yah.. kan tidak semua pelancong punya pengetahuan seperti jagawana atau tarzan kali yah... atau barangkali yang betina mengenakan rok?